Tuhan,
Bolehkah Aku Bermimpi??
Without Rain,We nerver see a
Rainbow
diposting
oleh mitaunair-fk12 pada 20 November 2012
Keningku berkerut
menatap rumus-rumus matematika yang berbaris indah dicatatan, otakku
berputar-putar memikirkan seabreg angka-angka yang sama sekali tak kumengerti.
Entah mengapa aku begitu membenci pelajaran yang satu ini, apa karena aku
ditakdirkan bodoh dalam hal ini atau karena aku yang malas untuk
mempelajarinya, yang pasti matematika adalah musuh utamaku di sekolah. Sering
aku berpikir mengapa harus ada pelajaran satu ini di dunia, dan mengapa
pythagoras harus dilahirkan??? aarrrggggghhh
sungguh membosankan.
“Ada apa yah ?”
Aku kaget sambil beranjak dari meja belajarku.
“Devi ! Ayah
dengar dari Pak Mino nilai matematikamu turun drastis, benar begitu Devi?" Tatapan Ayah begitu kecewa.
“Emmmh….. ia yah !
“Aku menjawab dengan sedikit rasa takut.
“Kenapa bisa
seperti itu Devi? terus terang ayah malu pada Pak Mino dengan nilai-nilai
matematikamu yang tidak pernah membuahkan hasil yang baik, padahal nilai-nilai
pelajaran lainnya ayah rasa sudah cukup baik, bahkan cenderung memuaskan !”
gerutu Ayah dengan nada kecewa.
“Adu Ayah…Ayah kan
tau aku paling benci, paling ga bisa, paling sebel sama pelajaran matematika !
Aku berusaha membela diri.
“Kalau kamu mau
berusaha lebih giat lagi, ayah yakin kamu pasti bisa apalagi sebentar lagi kamu
meghadapi UAN, apa kamu ma uterus-terusan seperti ini?” Ayah menasehatiku
dengan sabar.
“Maafin Devi Ayah,
Devi janji mau belajar lebih giat lagi, dan Devi pasti bisa menaklukkan
matematika, liat aja nanti !”Aku berkata dengan penuh percaya diri.
“Ya sudah,
sekarang lanjutkan belajarnya, ingat jangan tidur sampai larut malam.” Ayah
pergi sambil tersenyum.
“Oke deh…..sipp !”
Kenapa selalu seperti ini, Pak Mino
selalu ngadu ke Ayah soal prestasiku disekolah, terutama soal matematika. Ayah
adalah teman baik Pak Mino yang tidak lain adalah wali kelas serta guru
matematikaku. Pak Mino adalah guru terbaik yang dimiliki oleh sekolahku. Banyak
murid-murid yang menyukainya, beliau juga dikenal sebagai guru teladan dan
memiliki disiplin yang tinggi. Tapi bagiku Pak Mino tidak ubahnya seperti
mounster yang siap menerkam mangsanya.
"Matematika, akan kutaklukkan
kau, aku buktikan pada Ayah bahwa aku mampu meluluhkanmu” .gumamku dengan penuh
semangat.
Hari ini adalah hari pertama aku
mengikuti les tambahan untuk menghadapi UAN. Entah mengapa aku begitu semangat
mengikutinya, padahal les untuk hari ini adalah les matematika. Pak Mino sudah
siap berdiri di depan kelas sambil membawa penggaris andalannya.
“Hai kamu, ya kamu
Devi maju ke depan, kerjakan soal pertama dipapan tulis !” Pak Mino menatapku
dengan serius.
“Tapi
pak……saya……saya belum siap, yang lain saja ya Pak ! aku gemetar.
“Ha….ha…..ha…..!”
seisi kelas menertawakanku. Mentalku langsung down, wajahku memerah, kakiku
terasa berat untuk melangkah. Semangat yang begitu berkobar kini mulai memadam
seketika. Dengan rasa takut aku memberanikan diri maju kedepan.
“Cepat…..kerjakan
soal no 1 !” bentak Pak Mino.
“Iya Pak…..!” Aku
ketakutan” Teman-teman tolonglah aku dari situasi ini” Gumamku.
“Belajar tidak
semalam ? masa soal seperti ini saja tidak bisa ?”
“Belajar
Pak….tapi….saya ngga bisa !” keringatku bercucuran.
“Mau jadi apa
kamu, soal anak TK ini saja tidak bisa kamu kerjakan, nanti bagaimana saat
pelaksanaan UN, mau minta bantuan sapa ? ya sudah sekarang kamu duduk, sekarang
siapa yang bisa silahkan maju kedepan !”
Aku berjalan sambil tertunduk menuju
tempat dudukku. Mukaku memerah karena malu dan takut. Memandang teman-teman
satu kelaspun aku tak berani. Terdengar suara gaduh dari seisi kelas
seolah-olah mereka menertawakanku. Ingin rasanya aku menghapus matematika dari
dunia ini.
Saat jam pulang aku berlari menemui
salah seorang sahabatku yang bernama Rima. Rima dikenal sebagai siswa yang jago
matematika. Aku ingin meminta bantuannya untuk mengajariku. Setelah berunding
kami sepakat akan mengadakan sebuah kerjasama. Kerjasama yang mungkin akan
saling menguntungkan. Setiap hari Senin sampai dengan Rabu Rima akan
mengajariku matematika, tapi dengan satu syarat yang menurutku sangat berat,
tapi tak apalah demi matematika.
* * * * *
“Ibu aku berangkat
dulu ya !” Aku berlari menuju garasi untuk mengambil sepeda.
“Lho….lho, ini
baru jam berapa, ko kamu sudah mau berangkat”.
“Ia bu….aku piket
hari ini ! Dah….ibu, Assalamualaikum !” Aku berbohong pada Ibu. Maafkan aku
Ibu.
“Wa’alaikumsalam,
hati-hati ya nak.” Jawab ibu.
Pagi ini aku harus mengantarkan adik
Rima yang masih SD untuk pergi kesekolahnya. Ini adalah perjanjian kami, setiap
pagi aku harus mengantar adik bungsu Rima kesekolahnya, waktu yang diperlukan
lebih dari satu jam untuk menuju SD kemudian langsung menuju SMAku.
“Pak….pak….jangan
ditutup dulu, pliss….izinkan saya masuk, ya Pak….bapak baik deh !” Aku merayu
Pak Satpam agar diperbolehkan masuk ke sekolah tercintaku.
“Ya sudah tumben
kamu telat”
“Iya nih Pak,
kesiangan, permisi Pak !” Aku masuk kelas dengan keringat bercucuran. Waktu
menunjukkan tujuh lebih lima menit, hampir saja aku terlambat, tapi taka pa
demi matematika.
Saat pulang sekolah Rima menepati
janjinya untuk mengajariku matematika. Sejak itu aku mulai mengerti deretan
rumus yang tertulis rapi dibuku. Hari-hari kulalui dengan penuh perjuangan,
sampai pada akhirnya Rima memutuskan tidak mau mengajariku lagi karena suatu
alasan. Sejak saat itu aku harus berjuang sendirian.
Ketika jam
istirahat diruangan kelas, Hari saingan no satu dikelasku datang menghampiriku.
“Devi, bagaimana
kalau kita taruhan.” Hari berkata dengan lantang.
‘Taruhan apa “
Jawabku.
“Siapa diantara
kita yang memperoleh nilai tertinggi UAN nanti dialah pemenangnya.”
“Oke….apa
taruhannya.” Aku menjawab dengan penuh percaya diri.
“Makan dikantin
sepuasnya, gimana, deal ? oh….mumpung masih ada waktu kamu masih bisa
membatalkannya.”
“Kamu kira aku
takut, deal” Aku dan Hari bersalaman.
“Oya……aku sarankan
kamu mempertimbangkannya lagi, habis aku tak yakin dengan nilai-nilaimu, terutama
matematika, ha…ha…!” Ucap Hari sombong sambil pergi meninggalkan telas.
“Eh….aku ga takut
sama kamu, matematika …kecil !” celotehku sambil sedikit berteriak.”
Aduh…gimana ini, benar kata Hari. Apa aku bisa menyainginya, Uh….kenapa harus
ada matematika, siapa yang mau mengajariku, Rima sudah tidak bisa, ikut les
tambahan lagi gak mungkin, gimana dong, mana ujian tinggal beberapa minggu
lagi. Mati aku….” Aku bergumam.
Hampir setiap malam aku bergadang,
mempelajari rumus-rumus matematika yang kurasa sangat sulit. Tapi aku sadar ini
bukan sekedar untuk taruhan, untuk reputasiku disekolah, tapi juga untuk
membuat bangga orang tuaku dan untuk masa depanku nanti. Semangatku semakin
bertambah. Aku yakin aku bisa.
“Devi…nilaimu tak
ada kemajuan, bahkan kamu sering tidur didalam kelas, kamu kurang
berkonsentrasi, ada apa dengan kamu ? ‘Pak Mino memarahiku.
“Sa……saya sudah
berjuang semaksimal mungkin pak ?” Aku membela diri.
“Mana hasilnya ?
Prestasimu malah menurun.
“Maaf Pak, saya
janji saya akan memperbaikinya.”
Aku putus asa, segala upaya telah aku
lakukan, tapi tidak ada hasilnya. Apakah aku harus membatalkan taruhan itu ?
Lalu bagaimana dengan masa depanku nanti, orang tuaku. Apa ada yang salah
denganku ? Lama aku berpikir ternyata pola belajarku harus diubah. Tidak harus
begadang, tapi bertahap, dengan ini aku pasti bisa. Semangatku muncul kembali.
Hari yang
menegangkan pun tiba.
“Sudah siap belum
?” Tantang Hari.
“Siap, akan aku
buktikan.”
“Selamat berjuang”
Dengan tersenyum Hari memberiku semangat.
Waktu ujian dimulai. Hari pertama
sukses kulalui tanpa hambatan apapun. Soal Bahasa Indonesia yang diujikan tidak
begitu sulit bagiku. Aku tersenyum senang.
Hari kedua aku tak bisa berkutik.
Tiga puluh soal matematika diujikan. Aku hanya bisa mengerjakan 2 soal. Aku
mulai panik, keringatku bercucuran. Waktupun terus berjalan. Aku berusaha
semaksimal mungkin, namun aku tetap saja tidak bisa mengerjakannya. Wajahku
pucat pasih, ingin rasanya aku ……Hal-hal negatif terlintas dalam benakku mulai
dari kelulusan, orang tua, masa depan, sampai dengan taruhanku. Aku begitu
takut.
“Dev….Devi”
Tiba-tiba terdengar suara dari depan.
“Apa ?” jawabku
lemas.
“Ini….” Rima
memperlihatkan jawabannya padaku tanpa sepengetahuan pengawas.
“Thnx, yang.”Aku
segera menconteknya. Perasaanku sedikit lega. Walaupun aku tahu ini hal yang
dilarang tapi tak apalah, demi nilai.
“Tet….tet…” Bel
berbunyi tanda waktu ujian telah selesai.
Aku ingin menangis sekencang-kencangnya.
Kenapa ini terjadi padaku. Kenapa aku yang harus mengalaminya. Semangatku
menurun lagi. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada Rima. Karena bagaimanapun
dialah yang telah membantuku.
Hari terakhir Ujian Nasional aku
berhasil melaluinya. Soal-soal Bahasa Inggris bisa ku kerjakan dengan sukses.
Akhirnya tiga mata pelajaran telah kulalui semuanya. Tiga hari yang sangat
melelahkan, tiga hari yang begitu ditakuti akhirnya berhasil kulalui. Tapi
entah bagaimana hasilnya nanti.
* * * * *
Perasaanku tak karuan, jantungku
berdetak sangat kencang. Ada sebuah ketakutan dalam diriku. Beribu tanya
memenuhi pikiranku. Apakah aku lulus ? Bagaimana jika aku tidak lulus ? hari
ini adalah pengumuman kelulusan. Setelah jam yang lalu ayah sudah pergi
kesekolah. Aku menanti dengan cemas dirumah. Tiba-tiba handphoneku berdering.
“Devi…..kamu masuk
10 besar parallel !” Ayah begitu semangat.
“Yang benar
yah…..Ayah tidak bohongkan ?” Aku tak percaya.
“Ayah serius, selamat
ya nak…!”
Aku tak bisa
berkata apa-apa. Tak terasa air mata menetes dipipiku. Aku menjerit
sekencang-kencangnya.
“Aku lulus..”
Ibu mengucapkan selamat padaku.
Ternyara usahaku selama ini tidak sia-sia. Aku berhasil membuat bangga kedua
orang tuaku. Ku lupakan segala rasa yang ada dihatiku. Tak lupa aku bersyukur
kepada Allah SWT. Banyak hal yang terlintas dalam pikiranku.
“Taruhan….iya
taruhan itu, bagaimana dengan Hari !” Tanpa berfikir lagi aku segera pergi ke
sekolah menyusul Ayah.
“Selamat ya nak,
kamu berhasil. Ayah bangga padamu”. Ayah memelukku, terlihat kebahagiaan diraut
wajahnya.
“Terima kasih
Ayah, ini semua berkat Ayah juga” Aku membalas pelukannya.
Aku berbagi
kebahgiaan dengan teman temanku. Tiba-tiba Hari muncul.
“Selamat ya, kamu
menang. Aku salut pada kegigihanmu.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih,
tapi nilai matematikamu lebih bagus dibanding aku, menurutku kamu yang menang
taruhan ini.” Aku membalas senyumnya.
“Ayuk…..aku
traktir kamu makan sepuasnya”
“Yang bener
nih….asik….makan gratis.” Aku senang. Lalu kita menuju kantin yang ada
disamping sekolah.
“Bener nih aku
boleh pesen apa saja ?” Aku bertanya pada Hari.
“Iya…..kamu boleh
memesan apapun yang kamu mau” Jawabnya halus
“Dari dulu kek
kaya gini”, celotehku.
......
0 komentar:
Posting Komentar